Selasa, 13 Januari 2009

PENULISAN INDEPTH NEWS DAN FEATURE
Hidup Mati GWO Sriwedari Tergantung Wong Solo


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Semester VII
Mata Kuliah Jurnalistik







INDEPTH NEWS



Hidup Mati GWO Sriwedari Tergantung Wong Solo



Renovasi GWO Sriwedari Terganjal Kasus Sengketa Tanah


Sriwedari identik dengan kota Solo, kawasan sekitar 10 Ha ini memang sejak dulu menjadi landmark kota Solo, namun, sekarang hal tersebut terancam. Landmark yang sudah ada sejak zaman Pakoe Buwono X, hingga kini masih mengalami masalah , soal ketidakjelasan status kepemilikan tanah yang disengkatakan oleh pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta dan ahli waris Wiryodiningrat.

Sudah lebih dari 30 tahun tanah Sriwedari yang bernilai ratusan miliar rupiah itu disengketakan. Pemkot masih berhati-hati terhadap kasus sengketa tanah ini terutama dalam merealisasikan program pembangunan Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari. Revitalisasi GWO Sriwedari ini sebenarnya masuk dalam rencana program kerja pemerintahan Jokowi-Rudy yang harus dituntaskan tahun ini.

Pembangunan Sriwedari secara total akan dilaksanakan jika klaim tanah Sriwedari jelas-jelas dimiliki pemerintah, bukan milik pribadi (ahli waris). “Biaya operasional GWO itu cukup tinggi tapi pemasukannya tidak seberapa, capek-capek kita bangun tapi kalo nanti kalah, pemerintah kan rugi besar!” Jelas Mardono, Kasi P2A Seni dan Budaya Dinas Pariwisata Surakarta.

Versi Kepemilikan

Dirunut dari sejarah, ada tiga versi kepemilikan tanah Sriwedari. Menurut ahli waris, RMT Wiryodiningrat membeli tanah Sriwedari dan dijadikan pesanggrahan, kemudian oleh Pakubuwono X tanah tersebut dipinjam untuk dijadikan Kebon Rojo, oleh PB X kemudian taman itu digaduhkan kepada Patih Sosrodiningrat, selanjutnya oleh Patih Sosrodiningrat di tanah itu didirikan museum Radyapustaka dan Gedung Wayang Orang (GWO) sampai saat ini. Setelah RMT Wiryodiningrat meninggal para ahli warisnya menuntut pihak keraton untuk mengembalikan tanah tersebut kepada mereka.

Informasi terakhir menyebutkan bahwa saat ini ahli waris berada di atas angin karena telah memenangkan kasus sengketa tanah tersebut di Mahkamah Agung (MA). Kasasi Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan dan mencabut HP 11 dan HP 15 Sriwedari oleh Pemkot Surakarta. Meski secara hukum ahli waris telah memenangkan Sriwedari, faktanya Sriwedari telah dimiliki wong Solo. Fakta inilah yang tak boleh dilupakan dan ditinggalkan oleh semua orang.

Sedangkan Sriwedari versi mantan kepala museum Radyapustaka KRHT Darmodipuro (Mbah Hadi), bukti-bukti dari kitab Nawa Windu Paheman Radyapustaka (1960) menyebutkan bahwa, pada tahun 1877 PB X membeli tanah Sriwedari dari orang belanda bernama Johannes Busselaar, dan RMT Wiryodiningrat hanya bertindak sebagai perantara.

Sriwedari versi terakhir, berasal dari kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2000 Drs. Sunardi, menurutnya tanah Sriwedari terpecah menjadi dua sertifikat yaitu sertifikat No. 11 seluas hampir 6,2 Ha dan sertifikat No. 15 dengan luas 3,8 Ha yang disertifikatkan tahun 1992. Sedangkan tanah Sriwedari sendiri berstatus tanah Recht van Eigendom Verponding (RVE). Nah, sesuai Keppres No 32 tahun 1997 dan Permendagri No 3 Tahun 1979, disebutkan bahwa semua tanah bekas RVE sejak 24 Oktober 1980 dinyatakan sebagai tanah negara. Maka secara hukum tanah tersebut merupakan tanah milik Negara.

Merana

Karena sikap tidak mau rugi pihak Pemkot Surakarta ini membuat GWO semakin merana tidak terurus. Menurut pengelola GWO, Diwasa, S, Sn, pihaknya sudah berulangkali mengajukan proposal untuk perbaikan GWO. Namun sampai saat ini, pihak Pemkot masih belum menurunkan bantuan untuk renovasi GWO. Padahal menurutnya, GWO sekarang ini meskipun masih layak untuk menjadi tempat pementasan namun belum dapat disebut sebagai gedung kesenian. Bahkan kalau boleh disebut GWO ini seperti Tobong. Namun kalau Tobong biasanya merupakan tempat pentas yang tidak permanen di desa, kalau GWO merupakan Tobong yang permanen.

Meskipun demikian, pihak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) pernah memberikan bantuan untuk perbaikan atap depan GWO. Bahkan pihak asing pernah memberikan bantuan kepada GWO, tercatat pada tahun 1994 Jepang memberikan bantuan berupa sound system lengkap dengan lightingnya. Namun sebenarnya dari pihak Jepang sendiri memberi tahu bahwa usia penggunaan kedua alat ini hanya sampai 10 tahun. Namun karena terpaksa, sampai saat ini keduanya masih dipakai untuk pentas, “Tahu sendirilah orang Indonesia, asalkan masih bisa diperbaiki belum sampai bobrok-brok, akan tetap dipakai,” ujar Diwasa sambil terkekeh.

Program revitalisasi Sriwedari sebenarnya sudah dimulai pada tahun ini, berupa pembangunan pagar yang mengelilingi tanah seluas 10 ha dan menurut rencana selesai pada awal 2009 ini. Dana APBD sebanyak Rp 1,5 miliar digelontorkan untuk pembangunan pagar itu. Pembangunan pagar itu pun bisa disebut program spekulasi, sia-sia dan menghamburkan dana rakyat, mengingat secara hukum Sriwedari tak lagi berpihak ke Pemerintah Kota Surakarta.

Pada bulan April tahun 2009 ini pihak GWO berupaya kembali untuk mengajukan proposal bantuan ke Jepang. Karena salah satu orang GWO akan pergi ke Jepang dan kebetulan ia memiliki channel di sana. Hal ini tentu sangat ironis, jika pihak pengelola GWO sampai harus “mengemis” bantuan ke negeri matahari terbit cuma gara-gara sikap pihak Pemkot yang tidak mau rugi.

Pihak Pemkot sendiri sebelum tahun 1980 sudah dua kali membayar denda karena kalah di pengadilan. Nah, jika pada persidangan kali ini pihak Pemkot kalah untuk ketiga kalinya, Murdono menjamin kasus ini akan lama dan berlarut-larut karena pihak Pemkot tidak akan melepas begitu saja tanah Sriwedari yang berharga ini. Pemerintah akan terus berupaya menempuh jalur hukum bahkan kalau perlu, pihak Pemkot akan meminta Keppres atau sita negara untuk mendapatkan tanah Sriwedari kembali. Karena hal inilah, rehab di Sriwedari terutama di Gedung Wayang Orang (GWO) masih terkesan apa adanya.

Sikap Pemerintah Kota yang sangat mempertahankan Sriwedari sangat beralasan. Sriwedari identik dengan kota Solo, dan lokasi Sriwedari sendiri sangat strategis berada di tengah kota di pinggir jalan utama pula. Apalagi sejak otonomi daerah digulirkan sejak reformasi kemarin, pihak Pemkot nyaris tidak memiliki lahan kosong di jantung kota Solo. Terlebih Sriwedari menaungi ratusan orang untuk mencari penghasilan, tentu pihak Pemerintah Kota tidak mau menambah jumlah pengangguran karena hal ini.

Solusi

Kini, publik pun menanti konsep apa yang ditawarkan Jokowi-Rudy untuk lebih menghidupkan lagi Sriwedari. Demikian halnya dengan konsep yang ditawarkan ahli waris untuk pengembangan Sriwedari. Yang perlu diingat adalah Sriwedari ke depan tetaplah dijadikan ikon dan milik publik Solo. Bukan hanya mereka-mereka yang berduit yang bisa memanfaatkan Sriwedari. Yang paling perlu untuk diwaspadai adalah adanya pihak-pihak lain yang bisanya hanya menyalahkan saja, lebih baik dikomunikasikan dengan pihak pemerintah demi kebaikan bersama.

Meski pembangunan secara fisik terhadap GWO masih terganjal kasus sengketa tanah, namun bukan berarti upaya untuk menghidupkan kembali legenda wayang orang sebagai ikon kota Solo berhenti. Beberapa cara telah ditempuh oleh pihak GWO dalam menarik jumlah pengunjung, salah satunya adalah dengan publikasi lewat beberapa media. “Selain lewat papan pengumuman, kami juga mempublikasikan lewat Solopos dan Radio Swara Graha, promosi melalui media massa, mengirim ekspedisi pentas ke luar kota dan promosi ke berbagai hotel-hotel di Surakarta, namun jumlah pengunjung masih tidak mengalami peningkatan yang drastis,” tandas Mardono.

Selain pihak GWO yang kelabakan karena status Sriwedari yang belum jelas, para pedagang yang biasa berjualan di dalam Sriwedari juga ketar-ketir dengan hal ini. Salah satu pedagang yang menggantungkan hidupnya di tanah Sriwedari adalah Kirman (60), sejak tahun 70-an ia sudah berjualan hik di depan GWO. Kakek asli Wonogiri ini setiap harinya hidup di Sriwedari. Ia yang berjualan dengan istrinya, tidur di gerobak dagangannya atau di mushola di samping GWO, ia tidak tahu nasib masa depannya akan kemana jika Sriwedari dijual, “Saya sendiri sebenarnya tidak setuju jika sriwedari dijual, tapi saya bisa apa, lha saya hanya wong cilik” ucapnya pasrah.

*[Pramuji Ari Mulyo (D 0205107), Kosa Wijanarko (D0205086), Rusdi Danurwindo (D0205123), Yusuf Nursidiq (D 0205141)].

FEATURE

Tak Lelah Menari Demi Melestarikan Budaya


Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Para pemain yang awalnya berkumpul dan bercengkerama mulai bergegas mnuju backstage. Sang sutradara dibantu dalang lantas membagikan tokoh apa yang akan diperankan oleh para pemain untuk pentas malam itu. Para pemain pun segera menuju ruang rias. Beberapa pemain masih terlihat membaca naskah lakon wayang di sebuah papan tulis hitam berukuran 1x1,5 m.

Ruang rias Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari dibedakan antara ruang rias pria dan ruang rias wanita. Keduanya dipisahkan oleh panggung yang lebar. Jangan membayangkan akan adanya make up artist atau penata busana panggung profesional. Disini, semua pemain dituntut untuk bisa merias diri masing-masing. Dengan alat make up sederhana, para pemain dengan terampil memoles wajah dan tubuh sesuai peran yang mereka mainkan.

Waktu pun beranjak menunjukkan pukul 20.00 WIB. Loket segera dibuka. Apa daya, malam itu jumlah pengunjung sangat sedikit. Meski begitu, pentas pertunjukan harus tetap dilaksanakan, meski hanya dinikmati oleh beberapa pasang mata.

Sesaat, suara gamelan dan tembang-tembang Jawa mulai mengalun lembut dari dalam gedung. Beberapa orang pemain melakukan ”pemanasan” di panggung dengan layar yang masih tertutup rapat. Sang sutradara pun terlihat sibuk mengarahkan pemain dari bilik kecilnya.

Dalam sekejap, penonton mulai tersihir permainan menawan yang ditampilkan oleh para pemain. Semuanya dilakukan dengan perpaduan kelembutan gerak yang serasi dengan iringan musik gamelan. Cerita yang ditampilkan mengalir dengan klimaks dan antiklimaks. Selingan goro-goro membuat para penonton tersenyum, ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Kadang muncul pula adegan mengharukan. Suara tokoh pria yang gandang dan suara tokoh wanita yang lemah lembut berirama merupakan bentuk khas sebuah pertunjukan wayang.

Tanpa terasa waktu pertunjukan telah berakhir. Tiket seharga 3000 rupiah nampak tidak sebanding dengan penampilan yang memuaskan dari para pemain yang masih mempunyai dedikasi dan semangat tinggi untuk berkarya. Lampu-lampu penerang pun segera dimatikan. Layar ditutup rapat dan kesenyapan melingkupi gedung yang sedianya merupakan salah satu aset penting bagi kota Solo, kota budaya.

***
Sudah lebih dari 19 tahun Sulistianto berkecimpung di dunia seni tari sebelum menjadi sutradara di Wayang Orang Sriwedari. Selain berperan sebagai pembuat dhapukan (pembagian peran) dan menentukan jalan cerita. Pria berumur 46 tahun ini juga berperan membawahi tata rias dan tata busana, karawitan, serta menjadi pemandu lighting.

“Sekalipun terdapat dalang yang mengarahkan para pemain, tata panggung, tata rias dan karawitan, tetapi dalang tetap berada di bawah sutradara,” tambahnya. Lulusan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) tahun 1985 tersebut mengaku tidak begitu saja meraih posisi sutradara.

“Untuk menjadi sutradara, paling tidak harus menguasai berbagai macam peran dalam wayang orang. Ibarat kata, sutradara haruslah orang yang telah lama malang melintang dalam dunia pegelaran Wayang Orang.” ujar pria yang pernah tampil di London, India dan Singapura tersebut.



Sedangkan untuk menjadi pemain wayang orang sendiri ternyata tidak bisa sembarangan. “Sekalipun anda lulusan sekolah tari, belum tentu anda cocok menjadi pemain wayang orang. Ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi.” terang Diwasa ( 38 ), Pengelola Pentas Wayang Orang Sriwedari.

Lulusan ISI Yogyakarta Jurusan Pedalangan tahun 1998 itu menjelaskan bahwa ada beberapa syarat untuk menjadi pemain wayang orang. Pertama, gandar yaitu perawakan dan wajah. “Untuk pemain pria diharapkan mempunyai perawakan gagah dan wajah tampan, sedangkan pemain wanita diharapkan berwajah cantik,” ujarnya.


Kedua, kemampuan dalam onto wencana (dialog dalam wayang), atau memiliki kemampuan dialog tentang kesusteraan Jawa. Ketiga, harus menguasai dasar-dasar tari (beksan).
Sampai saat ini terdapat kurang lebih 55 pemain wayang orang dan 20 pengrawit. 90 persen diantaranya berstatus PNS dibawah Dinas Budaya Seni dan Pariwisata. Sisanya merupakan tenaga honorer.

Nanik (60), pemain paling senior di GWO Sriwedari merupakan salah seorang tenaga honorer. Meski sudah pensiun, dia tetap dipertahankan karena keahlian dan pengalamannya masih diperlukan. Sudah sejak 1962 Nanik bergabung dengan Wayang Orang Sriwedari. Motivasinya sederhana saja, dia merasa bahwa menari dan menjadi pemain wayang orang merupakan panggilan hatinya. Berbagai peran sudah pernah dibawakannya, mulai dari Dewi Sri hingga Adipati Karno.

“Satu hal yang membuat saya jengkel adalah kalau para pemain lain tidak bermain dengan serius di panggung. Wong kitanya sudah serius, mereka kok malah celelekan (bercanda),” tambahnya.
Hal itu memang sering terjadi. Terutama di saat pertunjukkan sepi penonton. “Kadang-kadang kalau sepi, para pemain jadi tidak semangat. Mereka tampil dengan celelekan. Tapi kalau ramai penonton, mereka tampil dengan semangat,” aku Diwasa.

Antusias Menurun

Wayang Orang Sriwedari pernah menjadi primadona di tahun 1960-an hingga 1980-an, dengan jumlah penonton bisa mencapai 2000 orang per bulan. Tetapi kondisinya sekarang berubah. Meski dengan tiket seharga Rp 3000,00 jumlah penonton tiap harinya hanya mencapai kurang lebih 35 orang. Hal ini, menurut Diwasa, disebabkan kehadiran hiburan-hiburan lain yang lebih modern dan murah meriah seperti televisi yang menggeser peran Wayang Orang Sriwedari.

Sebenarnya Diwasa selaku pimpinan sudah berusaha melakukan gebrakan. Salah satunya adalah menggunakan teknologi modern dalam tata cahaya dan adegan-adegan. Salah satunya saat pentas 2006, Wayang Orang Sriwedari menampilkan Garuda yang terbang dari sisi penonton ke panggung.

Generasi Penerus

Selain para pemain yang rata-rata berusia 35-50 tahun, ternyata terdapat para pemain remaja yang tergabung dalam WORS (Wayang Orang Remaja Sriwedari). Saat ini anggota WORS berjumlah sekitar 30 orang pemain dari SMKI di Solo dan juga lulusan ISI.
Sampai saat ini WORS pernah mengadakan pagelaran tunggal sebanyak dua kali, yaitu pada Malam Takbiran dan Malam Tahun Baru kemarin. Sebelum mengadakan pertunjukkan tunggal, mereka terlebih dahulu bermain bersama pemain yang sudah senior.

Untuk menggaet penonton dari kalangan muda, WORS menggabungkan ketoprak dan wayang orang dalam pementasannya. Dengan para pemain muda juga para pengrawit muda diharapkan WORS dapat menimbulkan antusias di antara kaum muda. Salah seorang anggota WORS, Irwan Dhamasto (18), mengaku bergabung dengan GWO Sriwedari saat duduk di kelas 1 SMKI. Setelah dilatih selama beberapa bulan, dia akhirnya tampil dengan membawakan peran sebagai yaksa (raksasa).

Juara 3 Lomba Tari Porseni Se-Surakarta 1995 tersebut mengaku kesulitan yang dialaminya selama berlatih menjadi pemain wayang orang adalah dalam penguasaan peran dan ontowecono (dialog). Selain itu dia juga masih merasa kagok bila mendapat lawan main pemain senior. “Saya hanya kuatir bahwa kelak bila saya bekeluarga, anak cucu saya tidak bisa lagi menyaksikan kebudayaan Jawa, salah satunya Wayang Orang,” ujar lulusan SMKI 8 tahun 2007 itu ketika ditanya mengenai alasannya bergabung dengan GWO.

Kehadiran WORS menunjukkan bahwa masih ada kaum muda yang peduli terhadap kelestarian budaya Jawa. Dan semoga hal ini tidak hanya terlihat dalam kesenian Wayang Orang saja tetapi kesenian-kesenian lain seperti keroncong atau wayang kulit yang menjadi indikator kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.

*[Andhika Wisnu W (D 0205035), Galih Yudo Laksono (D 0205075), Ranu Ario K ( D 0205113)]

FEATURE

Serba Instant di Wayang Orang Sriwedari


Sebagai salah satu warisan leluhur yang masih dipertahankan oleh Dinas Pariwisata Kota Surakarta, Wayang Orang Sriwedari selalu dipentaskan hampir di setiap malam. Namun tak sedikit orang yang tidak tahu bagaimana proses sebuah lakon hingga bisa dipentaskan di hadapan penonton.



Permadi-Bratajaya Lair. Tulis
an itu terpampang di papan pengumuman yang terdapat di depan pintu masuk Gedung Wayang Orang (GWO), kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Solo. Gedung masih nampak sepi penonton, padahal di luar keadaan cukup ramai oleh pengunjung yang datang bersama keluarganya menikmati suasana malam di THR Sriwedari.

Sementara itu di belakang panggung GWO terdapat sekelompok orang yang sedang sibuk dengan berbagai macam alat rias dan pakaian wayang. Berbagai macam properti untuk pentas malam itu seperti kepala wayang, rambut palsu, dan beberapa macam aksesoris pentas juga bertebaran di atas meja rias. Canda tawa dan suasana akrab satu sama lain sangat kental terasa. Meskipun berbeda usia, namun tidak mengurangi keakraban diantaranya. Selain para orang dewasa, kelompok pemain wayang orang tersebut juga terdapat para remaja.

Jarum jam menunjukkan angka delapan, ketika sebuah suara yang terdengar berat menggema menyuruh sekelompok orang tersebut agar segera berkumpul. Rupanya suara berat tersebut adalah milik sang sutradara wayang orang malam itu, Diwasa Diranagara S. Sn atau yang biasa disapa Pak Diwasa (47). Ia mengomando para pemainnya untuk segera berkumpul dan mendengarkan pengarahan singkat darinya sebelum pentas dimulai.

Pengarahan yang dipimpin langsung oleh sang sutradara sekaligus koordinator kelompok wayang tersebut berlangsung tertib. Sejumlah pemain yang belum paham dengan adegan apa yang akan mereka mainkan bergegas bertanya langsung kepada pimpinan mereka. Sang pimpinan yang malam itu mengenakan kaos oblong warna putih itu pun dengan hati-hati menjelaskan.

Setelah dirasa cukup, Pak Diwasa segera menutup pengarahan malam itu, dan para pemain pun bergegas ke meja rias yang jumlahnya cukup banyak di dalam ruangan berukuran 4x6 meter persis di sebelah belakang samping panggung tersebut.

Masing-masing pemain merias wajah mereka sendiri, sesuai dengan karakter tokoh wayang yang akan mereka mainkan malam itu. Mereka tampak begitu terampil dan cepat dalam merias dirinya sendiri. Termasuk ketika mengenakan pakaian wayang yang sudah disiapkan di lemari. Seakan waktu 15 menit yang tersisa sebelum pentas yang khusus dipakai untuk make-up itu pun tidak menjadikan mereka merasa gugup.

Pak Diwasa mengatakan bahwa para pemain sudah biasa menjalankan rutinitas tersebut. Jadi meskipun pentas dimulai jam setengah sembilan malam, tidak menjadi masalah pengarahan dimulai jam delapan. “Selain kadang judul yang akan mereka mainkan sudah pernah dimainkan sebelumnya, pada dasarnya juga mereka memang sudah mengetahui betul karakter-karakter tokoh wayang secara otodidak.” ujarnya.

Sementara itu, Agus Prasetyo (35) salah seorang pemain yang juga alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (sekarang ISI Surakarta) mengatakan bahwa tidak ada skenario yang panjangnya bisa berlembar-lembar, tidak ada hafalan maupun detail dialog yang mesti diucapkan.

“Semuanya serba ditentukan langsung malam itu, bahkan peran apa yang akan saya mainkan baru bisa diketahui beberapa menit sebelum pentas dimulai.” ujarnya.

Ia lalu menambahkan bahwa seorang pemain wayang orang dituntut harus bisa menguasai berbagai macam peran dan karakter tokoh-tokoh wayang yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan karakter. Semua pengetahuan itu dipeoleh dengan proses belajar, baik secara formal maupun non-formal.

Salah satu proses pembelajaran formal misalnya dengan menempuh pendidikan semacam ISI ataupun SMKI yang didalamnya setidaknya mempelajari kisah pewayangan tersebut. Bila zaman dahulu disini masih belum ada sekolah formal seperti itu, mereka senantiasa belajar secara otodidak, melihat orang bermain, lalu ikut bermain dengan peran-peran sederhana, kemudian berkembang dengan sendirinya seiring jam terbang yang semakin meningkat.

“Jadi kerjanya ya seperti ini, main wayang orang tiap malam.” ujarnya ketika ditanya mengenai profesi mereka selain sebagai pemain wayang orang. Agus Prasetyo sendiri merupakan seorang PNS yang diperbantukan khusus di GWO Sriwedari selaku pemain wayang orang.

Dengan dukungan variasi background dan tata cahaya yang dimiliki, sebenarnya kualitas yang disajikan GWO tidak terlalu mengecewakan. Pembawaan ceritanya sangat bisa dinikmati dengan baik. Namun mungkin karena generasi muda saat ini lebih menyukai hal-hal yang berhubungan dengan budaya barat, teknologi, dsb. Menyebabkan sangat sedikit sekali diantara mereka yang menyukai seni wayang orang dan berakibat sepinya penonton.

Berbicara mengenai animo penonton yang kian hari makin sedikit, Agus mengakui bahwa terlalu sediktnya penonton bisa mempengaruhi totalitas permainannya. Karena biasanya GWO hanya akan 'agak' penuh di saat-saat tertentu. Misalnya pada malam minggu atau ketika terjadi peringatan khusus semacam malam tahun baru dan malam suro. Di luar itu, biasanya sepinya pengunjung akan tampak sekali dengan begitu kontrasnya bila dibanding kursi yang tersedia di GWO."Itu manusiawi ya mas, kadang kalau penontonnya cuma tiga, seringkali kita merasa miris." pungkasnya.

Suasana dingin yang menyergap akibat hujan yang mengguyur kota Solo beberapa jam sebelum pentas tidak mengurangi semangat para pemain guna menyuguhkan tontonan terbaik bagi para penonton. Yang sudah menyisihkan waktunya untuk menikmati sajian salah satu budaya asli Indonesia yang sudah semakin sedikit peminatnya tersebut.

Pentas yang dimulai tepat jam setengah sembilan itu berlangsung kurang lebih selama dua jam, para pemain memanjatkan puji syukur kepada Yang Maha Esa begitu mereka beranjak ke belakang panggung. Gurat-gurat kelelahan terlihat samara di wajah mereka seolah tertutupi oleh rasa puas karena suksesnya pertunjukkan.

Esok, rutinitas yang sama akan mereka jalani…berulang dan berulang setiap harinya. Namun kejenuhan yang menyergap sanggup mereka lawan dengan semangat untuk tetap melestarikan kekayaan kebudayaan asli Indonesia.

[Brama Tri Yoga A.L. (D0205050), Agung Dwi Iryanto (D0205031)]