Selasa, 13 Januari 2009

PENULISAN INDEPTH NEWS DAN FEATURE
Hidup Mati GWO Sriwedari Tergantung Wong Solo


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Semester VII
Mata Kuliah Jurnalistik







INDEPTH NEWS



Hidup Mati GWO Sriwedari Tergantung Wong Solo



Renovasi GWO Sriwedari Terganjal Kasus Sengketa Tanah


Sriwedari identik dengan kota Solo, kawasan sekitar 10 Ha ini memang sejak dulu menjadi landmark kota Solo, namun, sekarang hal tersebut terancam. Landmark yang sudah ada sejak zaman Pakoe Buwono X, hingga kini masih mengalami masalah , soal ketidakjelasan status kepemilikan tanah yang disengkatakan oleh pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta dan ahli waris Wiryodiningrat.

Sudah lebih dari 30 tahun tanah Sriwedari yang bernilai ratusan miliar rupiah itu disengketakan. Pemkot masih berhati-hati terhadap kasus sengketa tanah ini terutama dalam merealisasikan program pembangunan Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari. Revitalisasi GWO Sriwedari ini sebenarnya masuk dalam rencana program kerja pemerintahan Jokowi-Rudy yang harus dituntaskan tahun ini.

Pembangunan Sriwedari secara total akan dilaksanakan jika klaim tanah Sriwedari jelas-jelas dimiliki pemerintah, bukan milik pribadi (ahli waris). “Biaya operasional GWO itu cukup tinggi tapi pemasukannya tidak seberapa, capek-capek kita bangun tapi kalo nanti kalah, pemerintah kan rugi besar!” Jelas Mardono, Kasi P2A Seni dan Budaya Dinas Pariwisata Surakarta.

Versi Kepemilikan

Dirunut dari sejarah, ada tiga versi kepemilikan tanah Sriwedari. Menurut ahli waris, RMT Wiryodiningrat membeli tanah Sriwedari dan dijadikan pesanggrahan, kemudian oleh Pakubuwono X tanah tersebut dipinjam untuk dijadikan Kebon Rojo, oleh PB X kemudian taman itu digaduhkan kepada Patih Sosrodiningrat, selanjutnya oleh Patih Sosrodiningrat di tanah itu didirikan museum Radyapustaka dan Gedung Wayang Orang (GWO) sampai saat ini. Setelah RMT Wiryodiningrat meninggal para ahli warisnya menuntut pihak keraton untuk mengembalikan tanah tersebut kepada mereka.

Informasi terakhir menyebutkan bahwa saat ini ahli waris berada di atas angin karena telah memenangkan kasus sengketa tanah tersebut di Mahkamah Agung (MA). Kasasi Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan dan mencabut HP 11 dan HP 15 Sriwedari oleh Pemkot Surakarta. Meski secara hukum ahli waris telah memenangkan Sriwedari, faktanya Sriwedari telah dimiliki wong Solo. Fakta inilah yang tak boleh dilupakan dan ditinggalkan oleh semua orang.

Sedangkan Sriwedari versi mantan kepala museum Radyapustaka KRHT Darmodipuro (Mbah Hadi), bukti-bukti dari kitab Nawa Windu Paheman Radyapustaka (1960) menyebutkan bahwa, pada tahun 1877 PB X membeli tanah Sriwedari dari orang belanda bernama Johannes Busselaar, dan RMT Wiryodiningrat hanya bertindak sebagai perantara.

Sriwedari versi terakhir, berasal dari kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2000 Drs. Sunardi, menurutnya tanah Sriwedari terpecah menjadi dua sertifikat yaitu sertifikat No. 11 seluas hampir 6,2 Ha dan sertifikat No. 15 dengan luas 3,8 Ha yang disertifikatkan tahun 1992. Sedangkan tanah Sriwedari sendiri berstatus tanah Recht van Eigendom Verponding (RVE). Nah, sesuai Keppres No 32 tahun 1997 dan Permendagri No 3 Tahun 1979, disebutkan bahwa semua tanah bekas RVE sejak 24 Oktober 1980 dinyatakan sebagai tanah negara. Maka secara hukum tanah tersebut merupakan tanah milik Negara.

Merana

Karena sikap tidak mau rugi pihak Pemkot Surakarta ini membuat GWO semakin merana tidak terurus. Menurut pengelola GWO, Diwasa, S, Sn, pihaknya sudah berulangkali mengajukan proposal untuk perbaikan GWO. Namun sampai saat ini, pihak Pemkot masih belum menurunkan bantuan untuk renovasi GWO. Padahal menurutnya, GWO sekarang ini meskipun masih layak untuk menjadi tempat pementasan namun belum dapat disebut sebagai gedung kesenian. Bahkan kalau boleh disebut GWO ini seperti Tobong. Namun kalau Tobong biasanya merupakan tempat pentas yang tidak permanen di desa, kalau GWO merupakan Tobong yang permanen.

Meskipun demikian, pihak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) pernah memberikan bantuan untuk perbaikan atap depan GWO. Bahkan pihak asing pernah memberikan bantuan kepada GWO, tercatat pada tahun 1994 Jepang memberikan bantuan berupa sound system lengkap dengan lightingnya. Namun sebenarnya dari pihak Jepang sendiri memberi tahu bahwa usia penggunaan kedua alat ini hanya sampai 10 tahun. Namun karena terpaksa, sampai saat ini keduanya masih dipakai untuk pentas, “Tahu sendirilah orang Indonesia, asalkan masih bisa diperbaiki belum sampai bobrok-brok, akan tetap dipakai,” ujar Diwasa sambil terkekeh.

Program revitalisasi Sriwedari sebenarnya sudah dimulai pada tahun ini, berupa pembangunan pagar yang mengelilingi tanah seluas 10 ha dan menurut rencana selesai pada awal 2009 ini. Dana APBD sebanyak Rp 1,5 miliar digelontorkan untuk pembangunan pagar itu. Pembangunan pagar itu pun bisa disebut program spekulasi, sia-sia dan menghamburkan dana rakyat, mengingat secara hukum Sriwedari tak lagi berpihak ke Pemerintah Kota Surakarta.

Pada bulan April tahun 2009 ini pihak GWO berupaya kembali untuk mengajukan proposal bantuan ke Jepang. Karena salah satu orang GWO akan pergi ke Jepang dan kebetulan ia memiliki channel di sana. Hal ini tentu sangat ironis, jika pihak pengelola GWO sampai harus “mengemis” bantuan ke negeri matahari terbit cuma gara-gara sikap pihak Pemkot yang tidak mau rugi.

Pihak Pemkot sendiri sebelum tahun 1980 sudah dua kali membayar denda karena kalah di pengadilan. Nah, jika pada persidangan kali ini pihak Pemkot kalah untuk ketiga kalinya, Murdono menjamin kasus ini akan lama dan berlarut-larut karena pihak Pemkot tidak akan melepas begitu saja tanah Sriwedari yang berharga ini. Pemerintah akan terus berupaya menempuh jalur hukum bahkan kalau perlu, pihak Pemkot akan meminta Keppres atau sita negara untuk mendapatkan tanah Sriwedari kembali. Karena hal inilah, rehab di Sriwedari terutama di Gedung Wayang Orang (GWO) masih terkesan apa adanya.

Sikap Pemerintah Kota yang sangat mempertahankan Sriwedari sangat beralasan. Sriwedari identik dengan kota Solo, dan lokasi Sriwedari sendiri sangat strategis berada di tengah kota di pinggir jalan utama pula. Apalagi sejak otonomi daerah digulirkan sejak reformasi kemarin, pihak Pemkot nyaris tidak memiliki lahan kosong di jantung kota Solo. Terlebih Sriwedari menaungi ratusan orang untuk mencari penghasilan, tentu pihak Pemerintah Kota tidak mau menambah jumlah pengangguran karena hal ini.

Solusi

Kini, publik pun menanti konsep apa yang ditawarkan Jokowi-Rudy untuk lebih menghidupkan lagi Sriwedari. Demikian halnya dengan konsep yang ditawarkan ahli waris untuk pengembangan Sriwedari. Yang perlu diingat adalah Sriwedari ke depan tetaplah dijadikan ikon dan milik publik Solo. Bukan hanya mereka-mereka yang berduit yang bisa memanfaatkan Sriwedari. Yang paling perlu untuk diwaspadai adalah adanya pihak-pihak lain yang bisanya hanya menyalahkan saja, lebih baik dikomunikasikan dengan pihak pemerintah demi kebaikan bersama.

Meski pembangunan secara fisik terhadap GWO masih terganjal kasus sengketa tanah, namun bukan berarti upaya untuk menghidupkan kembali legenda wayang orang sebagai ikon kota Solo berhenti. Beberapa cara telah ditempuh oleh pihak GWO dalam menarik jumlah pengunjung, salah satunya adalah dengan publikasi lewat beberapa media. “Selain lewat papan pengumuman, kami juga mempublikasikan lewat Solopos dan Radio Swara Graha, promosi melalui media massa, mengirim ekspedisi pentas ke luar kota dan promosi ke berbagai hotel-hotel di Surakarta, namun jumlah pengunjung masih tidak mengalami peningkatan yang drastis,” tandas Mardono.

Selain pihak GWO yang kelabakan karena status Sriwedari yang belum jelas, para pedagang yang biasa berjualan di dalam Sriwedari juga ketar-ketir dengan hal ini. Salah satu pedagang yang menggantungkan hidupnya di tanah Sriwedari adalah Kirman (60), sejak tahun 70-an ia sudah berjualan hik di depan GWO. Kakek asli Wonogiri ini setiap harinya hidup di Sriwedari. Ia yang berjualan dengan istrinya, tidur di gerobak dagangannya atau di mushola di samping GWO, ia tidak tahu nasib masa depannya akan kemana jika Sriwedari dijual, “Saya sendiri sebenarnya tidak setuju jika sriwedari dijual, tapi saya bisa apa, lha saya hanya wong cilik” ucapnya pasrah.

*[Pramuji Ari Mulyo (D 0205107), Kosa Wijanarko (D0205086), Rusdi Danurwindo (D0205123), Yusuf Nursidiq (D 0205141)].

1 komentar:

Belly Surya Candra Orsa mengatakan...

Great Blog..!!!! Keep Blogging.... : )