Selasa, 13 Januari 2009

FEATURE

Serba Instant di Wayang Orang Sriwedari


Sebagai salah satu warisan leluhur yang masih dipertahankan oleh Dinas Pariwisata Kota Surakarta, Wayang Orang Sriwedari selalu dipentaskan hampir di setiap malam. Namun tak sedikit orang yang tidak tahu bagaimana proses sebuah lakon hingga bisa dipentaskan di hadapan penonton.



Permadi-Bratajaya Lair. Tulis
an itu terpampang di papan pengumuman yang terdapat di depan pintu masuk Gedung Wayang Orang (GWO), kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Solo. Gedung masih nampak sepi penonton, padahal di luar keadaan cukup ramai oleh pengunjung yang datang bersama keluarganya menikmati suasana malam di THR Sriwedari.

Sementara itu di belakang panggung GWO terdapat sekelompok orang yang sedang sibuk dengan berbagai macam alat rias dan pakaian wayang. Berbagai macam properti untuk pentas malam itu seperti kepala wayang, rambut palsu, dan beberapa macam aksesoris pentas juga bertebaran di atas meja rias. Canda tawa dan suasana akrab satu sama lain sangat kental terasa. Meskipun berbeda usia, namun tidak mengurangi keakraban diantaranya. Selain para orang dewasa, kelompok pemain wayang orang tersebut juga terdapat para remaja.

Jarum jam menunjukkan angka delapan, ketika sebuah suara yang terdengar berat menggema menyuruh sekelompok orang tersebut agar segera berkumpul. Rupanya suara berat tersebut adalah milik sang sutradara wayang orang malam itu, Diwasa Diranagara S. Sn atau yang biasa disapa Pak Diwasa (47). Ia mengomando para pemainnya untuk segera berkumpul dan mendengarkan pengarahan singkat darinya sebelum pentas dimulai.

Pengarahan yang dipimpin langsung oleh sang sutradara sekaligus koordinator kelompok wayang tersebut berlangsung tertib. Sejumlah pemain yang belum paham dengan adegan apa yang akan mereka mainkan bergegas bertanya langsung kepada pimpinan mereka. Sang pimpinan yang malam itu mengenakan kaos oblong warna putih itu pun dengan hati-hati menjelaskan.

Setelah dirasa cukup, Pak Diwasa segera menutup pengarahan malam itu, dan para pemain pun bergegas ke meja rias yang jumlahnya cukup banyak di dalam ruangan berukuran 4x6 meter persis di sebelah belakang samping panggung tersebut.

Masing-masing pemain merias wajah mereka sendiri, sesuai dengan karakter tokoh wayang yang akan mereka mainkan malam itu. Mereka tampak begitu terampil dan cepat dalam merias dirinya sendiri. Termasuk ketika mengenakan pakaian wayang yang sudah disiapkan di lemari. Seakan waktu 15 menit yang tersisa sebelum pentas yang khusus dipakai untuk make-up itu pun tidak menjadikan mereka merasa gugup.

Pak Diwasa mengatakan bahwa para pemain sudah biasa menjalankan rutinitas tersebut. Jadi meskipun pentas dimulai jam setengah sembilan malam, tidak menjadi masalah pengarahan dimulai jam delapan. “Selain kadang judul yang akan mereka mainkan sudah pernah dimainkan sebelumnya, pada dasarnya juga mereka memang sudah mengetahui betul karakter-karakter tokoh wayang secara otodidak.” ujarnya.

Sementara itu, Agus Prasetyo (35) salah seorang pemain yang juga alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (sekarang ISI Surakarta) mengatakan bahwa tidak ada skenario yang panjangnya bisa berlembar-lembar, tidak ada hafalan maupun detail dialog yang mesti diucapkan.

“Semuanya serba ditentukan langsung malam itu, bahkan peran apa yang akan saya mainkan baru bisa diketahui beberapa menit sebelum pentas dimulai.” ujarnya.

Ia lalu menambahkan bahwa seorang pemain wayang orang dituntut harus bisa menguasai berbagai macam peran dan karakter tokoh-tokoh wayang yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan karakter. Semua pengetahuan itu dipeoleh dengan proses belajar, baik secara formal maupun non-formal.

Salah satu proses pembelajaran formal misalnya dengan menempuh pendidikan semacam ISI ataupun SMKI yang didalamnya setidaknya mempelajari kisah pewayangan tersebut. Bila zaman dahulu disini masih belum ada sekolah formal seperti itu, mereka senantiasa belajar secara otodidak, melihat orang bermain, lalu ikut bermain dengan peran-peran sederhana, kemudian berkembang dengan sendirinya seiring jam terbang yang semakin meningkat.

“Jadi kerjanya ya seperti ini, main wayang orang tiap malam.” ujarnya ketika ditanya mengenai profesi mereka selain sebagai pemain wayang orang. Agus Prasetyo sendiri merupakan seorang PNS yang diperbantukan khusus di GWO Sriwedari selaku pemain wayang orang.

Dengan dukungan variasi background dan tata cahaya yang dimiliki, sebenarnya kualitas yang disajikan GWO tidak terlalu mengecewakan. Pembawaan ceritanya sangat bisa dinikmati dengan baik. Namun mungkin karena generasi muda saat ini lebih menyukai hal-hal yang berhubungan dengan budaya barat, teknologi, dsb. Menyebabkan sangat sedikit sekali diantara mereka yang menyukai seni wayang orang dan berakibat sepinya penonton.

Berbicara mengenai animo penonton yang kian hari makin sedikit, Agus mengakui bahwa terlalu sediktnya penonton bisa mempengaruhi totalitas permainannya. Karena biasanya GWO hanya akan 'agak' penuh di saat-saat tertentu. Misalnya pada malam minggu atau ketika terjadi peringatan khusus semacam malam tahun baru dan malam suro. Di luar itu, biasanya sepinya pengunjung akan tampak sekali dengan begitu kontrasnya bila dibanding kursi yang tersedia di GWO."Itu manusiawi ya mas, kadang kalau penontonnya cuma tiga, seringkali kita merasa miris." pungkasnya.

Suasana dingin yang menyergap akibat hujan yang mengguyur kota Solo beberapa jam sebelum pentas tidak mengurangi semangat para pemain guna menyuguhkan tontonan terbaik bagi para penonton. Yang sudah menyisihkan waktunya untuk menikmati sajian salah satu budaya asli Indonesia yang sudah semakin sedikit peminatnya tersebut.

Pentas yang dimulai tepat jam setengah sembilan itu berlangsung kurang lebih selama dua jam, para pemain memanjatkan puji syukur kepada Yang Maha Esa begitu mereka beranjak ke belakang panggung. Gurat-gurat kelelahan terlihat samara di wajah mereka seolah tertutupi oleh rasa puas karena suksesnya pertunjukkan.

Esok, rutinitas yang sama akan mereka jalani…berulang dan berulang setiap harinya. Namun kejenuhan yang menyergap sanggup mereka lawan dengan semangat untuk tetap melestarikan kekayaan kebudayaan asli Indonesia.

[Brama Tri Yoga A.L. (D0205050), Agung Dwi Iryanto (D0205031)]

Tidak ada komentar: