Selasa, 13 Januari 2009

FEATURE

Tak Lelah Menari Demi Melestarikan Budaya


Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Para pemain yang awalnya berkumpul dan bercengkerama mulai bergegas mnuju backstage. Sang sutradara dibantu dalang lantas membagikan tokoh apa yang akan diperankan oleh para pemain untuk pentas malam itu. Para pemain pun segera menuju ruang rias. Beberapa pemain masih terlihat membaca naskah lakon wayang di sebuah papan tulis hitam berukuran 1x1,5 m.

Ruang rias Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari dibedakan antara ruang rias pria dan ruang rias wanita. Keduanya dipisahkan oleh panggung yang lebar. Jangan membayangkan akan adanya make up artist atau penata busana panggung profesional. Disini, semua pemain dituntut untuk bisa merias diri masing-masing. Dengan alat make up sederhana, para pemain dengan terampil memoles wajah dan tubuh sesuai peran yang mereka mainkan.

Waktu pun beranjak menunjukkan pukul 20.00 WIB. Loket segera dibuka. Apa daya, malam itu jumlah pengunjung sangat sedikit. Meski begitu, pentas pertunjukan harus tetap dilaksanakan, meski hanya dinikmati oleh beberapa pasang mata.

Sesaat, suara gamelan dan tembang-tembang Jawa mulai mengalun lembut dari dalam gedung. Beberapa orang pemain melakukan ”pemanasan” di panggung dengan layar yang masih tertutup rapat. Sang sutradara pun terlihat sibuk mengarahkan pemain dari bilik kecilnya.

Dalam sekejap, penonton mulai tersihir permainan menawan yang ditampilkan oleh para pemain. Semuanya dilakukan dengan perpaduan kelembutan gerak yang serasi dengan iringan musik gamelan. Cerita yang ditampilkan mengalir dengan klimaks dan antiklimaks. Selingan goro-goro membuat para penonton tersenyum, ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Kadang muncul pula adegan mengharukan. Suara tokoh pria yang gandang dan suara tokoh wanita yang lemah lembut berirama merupakan bentuk khas sebuah pertunjukan wayang.

Tanpa terasa waktu pertunjukan telah berakhir. Tiket seharga 3000 rupiah nampak tidak sebanding dengan penampilan yang memuaskan dari para pemain yang masih mempunyai dedikasi dan semangat tinggi untuk berkarya. Lampu-lampu penerang pun segera dimatikan. Layar ditutup rapat dan kesenyapan melingkupi gedung yang sedianya merupakan salah satu aset penting bagi kota Solo, kota budaya.

***
Sudah lebih dari 19 tahun Sulistianto berkecimpung di dunia seni tari sebelum menjadi sutradara di Wayang Orang Sriwedari. Selain berperan sebagai pembuat dhapukan (pembagian peran) dan menentukan jalan cerita. Pria berumur 46 tahun ini juga berperan membawahi tata rias dan tata busana, karawitan, serta menjadi pemandu lighting.

“Sekalipun terdapat dalang yang mengarahkan para pemain, tata panggung, tata rias dan karawitan, tetapi dalang tetap berada di bawah sutradara,” tambahnya. Lulusan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) tahun 1985 tersebut mengaku tidak begitu saja meraih posisi sutradara.

“Untuk menjadi sutradara, paling tidak harus menguasai berbagai macam peran dalam wayang orang. Ibarat kata, sutradara haruslah orang yang telah lama malang melintang dalam dunia pegelaran Wayang Orang.” ujar pria yang pernah tampil di London, India dan Singapura tersebut.



Sedangkan untuk menjadi pemain wayang orang sendiri ternyata tidak bisa sembarangan. “Sekalipun anda lulusan sekolah tari, belum tentu anda cocok menjadi pemain wayang orang. Ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi.” terang Diwasa ( 38 ), Pengelola Pentas Wayang Orang Sriwedari.

Lulusan ISI Yogyakarta Jurusan Pedalangan tahun 1998 itu menjelaskan bahwa ada beberapa syarat untuk menjadi pemain wayang orang. Pertama, gandar yaitu perawakan dan wajah. “Untuk pemain pria diharapkan mempunyai perawakan gagah dan wajah tampan, sedangkan pemain wanita diharapkan berwajah cantik,” ujarnya.


Kedua, kemampuan dalam onto wencana (dialog dalam wayang), atau memiliki kemampuan dialog tentang kesusteraan Jawa. Ketiga, harus menguasai dasar-dasar tari (beksan).
Sampai saat ini terdapat kurang lebih 55 pemain wayang orang dan 20 pengrawit. 90 persen diantaranya berstatus PNS dibawah Dinas Budaya Seni dan Pariwisata. Sisanya merupakan tenaga honorer.

Nanik (60), pemain paling senior di GWO Sriwedari merupakan salah seorang tenaga honorer. Meski sudah pensiun, dia tetap dipertahankan karena keahlian dan pengalamannya masih diperlukan. Sudah sejak 1962 Nanik bergabung dengan Wayang Orang Sriwedari. Motivasinya sederhana saja, dia merasa bahwa menari dan menjadi pemain wayang orang merupakan panggilan hatinya. Berbagai peran sudah pernah dibawakannya, mulai dari Dewi Sri hingga Adipati Karno.

“Satu hal yang membuat saya jengkel adalah kalau para pemain lain tidak bermain dengan serius di panggung. Wong kitanya sudah serius, mereka kok malah celelekan (bercanda),” tambahnya.
Hal itu memang sering terjadi. Terutama di saat pertunjukkan sepi penonton. “Kadang-kadang kalau sepi, para pemain jadi tidak semangat. Mereka tampil dengan celelekan. Tapi kalau ramai penonton, mereka tampil dengan semangat,” aku Diwasa.

Antusias Menurun

Wayang Orang Sriwedari pernah menjadi primadona di tahun 1960-an hingga 1980-an, dengan jumlah penonton bisa mencapai 2000 orang per bulan. Tetapi kondisinya sekarang berubah. Meski dengan tiket seharga Rp 3000,00 jumlah penonton tiap harinya hanya mencapai kurang lebih 35 orang. Hal ini, menurut Diwasa, disebabkan kehadiran hiburan-hiburan lain yang lebih modern dan murah meriah seperti televisi yang menggeser peran Wayang Orang Sriwedari.

Sebenarnya Diwasa selaku pimpinan sudah berusaha melakukan gebrakan. Salah satunya adalah menggunakan teknologi modern dalam tata cahaya dan adegan-adegan. Salah satunya saat pentas 2006, Wayang Orang Sriwedari menampilkan Garuda yang terbang dari sisi penonton ke panggung.

Generasi Penerus

Selain para pemain yang rata-rata berusia 35-50 tahun, ternyata terdapat para pemain remaja yang tergabung dalam WORS (Wayang Orang Remaja Sriwedari). Saat ini anggota WORS berjumlah sekitar 30 orang pemain dari SMKI di Solo dan juga lulusan ISI.
Sampai saat ini WORS pernah mengadakan pagelaran tunggal sebanyak dua kali, yaitu pada Malam Takbiran dan Malam Tahun Baru kemarin. Sebelum mengadakan pertunjukkan tunggal, mereka terlebih dahulu bermain bersama pemain yang sudah senior.

Untuk menggaet penonton dari kalangan muda, WORS menggabungkan ketoprak dan wayang orang dalam pementasannya. Dengan para pemain muda juga para pengrawit muda diharapkan WORS dapat menimbulkan antusias di antara kaum muda. Salah seorang anggota WORS, Irwan Dhamasto (18), mengaku bergabung dengan GWO Sriwedari saat duduk di kelas 1 SMKI. Setelah dilatih selama beberapa bulan, dia akhirnya tampil dengan membawakan peran sebagai yaksa (raksasa).

Juara 3 Lomba Tari Porseni Se-Surakarta 1995 tersebut mengaku kesulitan yang dialaminya selama berlatih menjadi pemain wayang orang adalah dalam penguasaan peran dan ontowecono (dialog). Selain itu dia juga masih merasa kagok bila mendapat lawan main pemain senior. “Saya hanya kuatir bahwa kelak bila saya bekeluarga, anak cucu saya tidak bisa lagi menyaksikan kebudayaan Jawa, salah satunya Wayang Orang,” ujar lulusan SMKI 8 tahun 2007 itu ketika ditanya mengenai alasannya bergabung dengan GWO.

Kehadiran WORS menunjukkan bahwa masih ada kaum muda yang peduli terhadap kelestarian budaya Jawa. Dan semoga hal ini tidak hanya terlihat dalam kesenian Wayang Orang saja tetapi kesenian-kesenian lain seperti keroncong atau wayang kulit yang menjadi indikator kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.

*[Andhika Wisnu W (D 0205035), Galih Yudo Laksono (D 0205075), Ranu Ario K ( D 0205113)]

Tidak ada komentar: